Page Nav

HIDE

Breaking News:

latest

Ads Place

Politik: Ketika Suara Lirih Ibu Memanggil…

Ketika Suara Lirih Ibu Memanggil… Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Dr Hinca IP Pandjaitan XIII bersama penulis dan para Petinggi Partai...

Ketika Suara Lirih Ibu Memanggil…

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Dr Hinca IP Pandjaitan XIII bersama penulis dan para Petinggi Partai Demokrat dalam pembukaan Workshop Bimtek Divisi Diklat DPP-PD edisi kedua; gelombang III; angkatan 7, 8 dan 9 di Wisma Proklamasi 41, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa malam (11/4/2017). (twitter/hincapandjaitan)

Oleh: Ferdinand Hutahaean?*)

My Mother was the most beautiful women I ever saw. All I am owed to My Mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from Her.

Begitulah, Presiden Amerika Serikat ke-1 (30 April 1789-4 Maret 1797) George Washington, ketika memimpin, mendedikasikan hidupnya untuk seorang Ibu. Terjemahan bebasnya ki ra-kira seperti berikut : ?

Ibuku adalah wanita terindah yang pernah aku lihat. Seluruh diriku berutang pada Ibuku. Aku dedikasikan kesuksesanku dalam hidup untuk pendidikan moral, intelektual, dan fisik yang telah aku terima darinya.

Sungguh indah kata-kata itu dan tentu mampu kita pahami maknanya dengan mudah, terang dan jelas. Pengabdian seorang anak kepada Ibu.

Di dalam politik ungkapan ini juga berlaku dan identik terjadi. Ibu seorang politisi adalah partai, ibu seorang negarawan adalah bangsa.Adakah seseorang lahir menjadi politisi tanpa partai? Adakah seseorang disebut negarawan tanpa hidup untuk bangsa? Saya mengajak kita untuk sama-sama menjawabnya dengan hati dan pikiran, karena jawaban kita akan menentukan sejauh mana kita akan mengabdi kepada ibu dan mengabdikan hidup kepada bangsa.

Saya ingin menarik sedikit cerita singkat yang terjadi kemarin, tidak lebih dari 12 jam dihitung dari artikel ini saya tuliskan.

Tulisan ini saya dedikasik an untuk para kader Partai Demokrat, Anggota Fraksi Demokrat DPRD seluruh Indonesia. Sebagian dari mereka bertatap muka dengan kami pada acara Bimtek Pendalaman dan Orientasi Tugas Anggota FPD DPRD Kabupaten Kota se-Indonesia di Markas DPP Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41 Menteng, Jakarta.

Atas nama kewajiban anak kepada Ibu, kami bersama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan melakukan rapat marathon. Kami membahas agenda kerja politik partai ke depan. Membahas tentang tujuan partai mewujudkan Indonesia Emas 2045.

?Tugas kita adalah adalah memastikan bahwa partai harus semakin dekat dengan rakyat. Demokrat semakin perduli dengan rakyat. Demokrat harus menjadi solusi bagi rakyat. Demokrat harus selalu bersama rakyat. Demokrat harus memastikan, menjaga, dan mengawal Pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga selesai 2019. Tentu dengan memberikan kritik konstruktif sebagai pengabdian kepada bangsa d an turut serta membangun bangsa.

Begitulah sambutan Ketua Umum Demokrat Bapak SBY yang tegas, dengan penekanan bahwa itu adalah kewajiban bukan hak. Kewajiban seorang anak kepada Ibu, kewajiban politisi kepada partai dan kewajiban negarawan kepada bangsa.

Selepas pertemuan tersebut, malam sudah merangkul dan memeluk Jakarta, mengirimkan matahari ke sisi bumi lainnya. Hampir larut malam kami, saya; Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan dan Koordinator Departemen Polhukam DPP-PD Haris Wijaya, memacu langkah menuju DPP-PD.

Saya menemukan wajah-wajah lelah yang tetap semangat, Saya melihat wajah anak-anak Ibu yang letih namun tetap memancarkan aura seorang pejuang, aura srikandi yang tak pudar. Itulah mereka anak-anak Ibu, para anggota FPD DPRD seluruh Indonesia.

Mereka menunggu kehadiran Sekjen Demokrat untuk membuka bimtek secara resmi hingga malam. Kelelahan dan keletihan tak berarti bagi mereka demi pengabdian kepada Ibu. Mudah-mudahan saya tidak salah melihat .

Satu-satunya cinta yang sungguh aku percaya adalah cinta Ibu kepada anaknya. Demikian Karl Lagerfeld, seorang perancang busana tersohor berkebangsaan Jerman.

Saya berharap, ungkapan inilah yang mendasari hati para anak-anak Demokrat, yang terus semangat hingga larut malam mendengar dan mengikuti cerita si Malin Kundang dan Naga Bonar yang disuguhkan Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan sebagai perbandingan seorang anak kepada ibu.

Kita mau jadi siapa? Mau jadi Malin Kundang terhadap Ibu atau ingin seperti kisah Naga Bonar kepada Ibu?

Doaku bahwa semua anggota FPD DPRD akan memilih menjadi Naga Bonar dengan kisahnya menggendong Ibu meski dalam suasana perang.

Pertanyaannya, maukah kita menggendong Ibu setelah menjadi orang sukses; menjadi Anggota DPR dan DPRD? Maukah kita menggendong bangsa ini setelah bangsa ini memberikan ruang dan waktu bagi kita untuk meraih kesuksesan? Jawaban ada di hati kita masing-masing, karena saya tidak ingin memaksa untuk memilih sebuah sikap.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajak kita merenung dan memasuki sebuah situasi, saat suara lirih seorang Ibu memanggil. Apa yang akan kita lakukan? Kehilangan Ibu sungguh menyedihkan. Dikutuk Ibu sungguh menyakitkan. Namun mengabdi kepada Ibu adalah jalan menuju kemuliaan akhirat.

Kita adalah anak Ibu. Ibu kita, sebagai politisi, adalah partai. Ibu kita sebagai negarawan adalah bangsa?

Mari, menjawab panggilan Ibu!

Jayalah Demokrat!

Jakarta, 12 April 2017

*)Komunikator Partai Demokrat

pribuminews/dik)

Sumber: Partai Demokrat

Tidak ada komentar

Latest Articles