Berstatus Tersangka, Bagaimana Nasib Novanto di Senayan dan Golkar? - KOMPAS.com KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Pimpinan DPR, (depan kiri ke kanan)...
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Setya Nov anto, resmi menyandang status tersangka.
Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan penetapan Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP pada Senin (17/7/2017) malam.
Bagaimana nasib Novanto di Golkar dan Senayan?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, Golkar dan DPR harus mempertaruhkan citranya jika mempertahankan Novanto di posisinya saat ini.
Baca: Setya Novanto, "Pendatang Baru" di Deretan Pimpinan Lembaga yang Dijerat KPK...
Ia memprediksi, Golkar tak akan menunggu lama untuk menentukan nasib Novanto.
"Saya kira itu akan terjadi lagi (pergantian ketua DPR) karena bangunan kepemimpinan Setya Novanto sendiri agak rapuh, sehingga secara politis akan banyak orang dalam yang mau memanfaatkan status SN saat ini untuk kepentingan mereka," kata Lucius Karus saat dihubungi, Senin (17/7/2017) malam.
Menurut dia, menjelang tahun politik, 2018 dan 2019, Golkar pasti akan mempertimbangkan kesiapan dan citra partai.
Tetap menempatkan Novanto sebagai pucuk pimpinan parlemen dianggap sebagai kerugian besar bagi Golkar.
"Golkar pasti tak ingin nasibnya akan hancur di Pemilu 2019 hanya lantaran kepentingan mau menjaga atau melindungi Setya Novanto saja," kata dia.
Baca: KPK Tetapkan Setya Novanto Tersangka Kasus E-KTP
Bagi DPR sendiri, mempertahankan Novanto akan membuat DPR berada pada titik nadir.
Apalagi, dengan manuver Panitia Khusus Hak Angket KPK yang menuai kritik publik.
Lucius menambahkan, dengan penetapan Novanto sebagai tersangka, maka "kengototan" Pansus akan terlihat sebagai upaya mengatasi rasa malu dan gengsi sebagai anggota DPR.
"Citra DPR makin tak tertolong karena penetapan SN sebagai tersangka sekaligus tampak sebagai anti-klimaks semangat DPR melalui Pansus Angket untuk memojokkan KPK," kata dia.
Sementara, desakan agar Setya Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, mulai muncul.
Salah satunya diungkapkan oleh Politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia.
Baca: Politisi Golkar: Demi Nama Partai, Setya Novanto Harus Mundur
Sejak nama Novanto disebut terlibat kasus korupsi e-KTP, Doli sudah getol menyuarakan agar politisi kelahiran Bandung tersebut meletakkan jabatannya.
"Dengan ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka saat ini, tidak ada jalan lain, demi menjaga nama partai, Setya Novanto harus mengundurkan diri dari Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPR RI," kata Doli, melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (17/7/2017).
Doli mengatakan, sebagai kader Golkar, ia merasa prihatin atas penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.
Namun, menurut dia, kader Golkar harus lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar.
"Bagi Golkar, jangan sampai urusan pribadi Setya Novanto mengganggu urusan konsolidasi partai dalam menghadapi agenda-agenda politik strategis ke depan," ujar Doli.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, Golkar harus segera melakukan konsolidasi pasca-penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto oleh KPK.
Menurut Akbar, dengan status tersangka, Novanto tidak mungkin lagi bisa menjalankan tugas sebagai pemimpin parpol.
Padahal, Golkar harus menghadapi momentum politik penting pada 2018 dan 2019.
"Puncaknya adalah agenda politik 2019, pemilu legislatif dan pemilu presiden. Ini agenda yang sudah ada di depan mata," kata Akbar, dalam wawancara dengan Kompas TV, Senin (17/7/2017) malam.
Sementara itu, dorongan mundur sebagai Ketua DPR juga datang dari kader di luar partai Golkar.
Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Taufiqulhadi, salah satunya.
Ia menilai pengganti Novanto harus segera dicari.
"Kalau sudah ditersangkakan segera dia harus diganti," ujar Taufiqulhadi.
Namun, ia menyerahkan sepenuhnya kepada Golkar untuk mencari sosok yang tepat.
"Itu hak internal Golkar. Jadi Golkar yang akan memilih orang untuk menjadi ketua," kata dia.
Namun, ia memperkirakan momentum ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lainnya.
Apalagi, beberapa waktu lalu DPR tengah membicarakan soal penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR melalui revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Telah menjadi kesepakatan paripurna saat itu bahwa PDI-P sebagai partai pemenang pemilu akan mendapatkan masig-masing satu kursi pimpinan di DPR dan MPR.
"Ada juga ini momentum untuk mengembalikan kepada yang normal. Aturannya pemenang pemilu adalah menjadi ketua," kata Taufiqulhadi.
MKD dimin ta bergerak
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR juga diminta untuk bergerak.
Selain memproses kasus karena adanya laporan, Lucius Karus mengatakan, berdasarkan Tata Beracara MKD, MKD berhak mengadili perkara tanpa pengaduan.
Hal itu dilakukan jika ada perkara yang menjadi sorotan publik.
"Penetapan SN sebagai tersangka sudah cukup untuk dijadikan alasan bagi penyelidikan MKD karena substansi penegakan etis MKD adalah memastikan martabat lembaga DPR tetap terjaga," ujar Lucius.
"Dan martabat DPR hampir pasti tergerus dengan status SN," lanjut dia.
Menurut dia, hal ini bergantung pada kemauan MKD untuk memastikan kepada publik bahwa mereka masih bisa diandalkan untuk menjaga harkat dan martabat DPR.
"Jika MKD peduli, maka mereka mestinya bisa memproses kasus SN ini," kata Lucius.
Tersangka kasus e-KTP
KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga terlibat dalam korupsi proyek pengadaan e-KTP.
"KPK menetapkan saudara SN anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan.
Jaksa KPK sebelumnya juga meyakini adanya peran Setya Novanto dalam korupsi proyek e-KTP.
Jaksa yakin tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu dilakukan bersama-sama Setya Novanto.
Hal itu dijelaskan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan terhadap dua terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/6/2017).
Kompas TV Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menyebut penetapan Setya Novanto belum akan memengaruhi susunan kepemimpinan di DPR. Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:- Dugaan Korupsi Proyek E-KTP
- Dinamika Partai Golkar
- Sepak Terjang Setya Novanto
Tidak ada komentar