DPR vs KPK, Perlu Mediasi Jokowi - Detikcom Syamsuddin Haris (Foto: Ari Saputra) Jakarta - Bur...
Syamsuddin Haris (Foto: Ari Saputra) Jakarta - Buruk rupa cermin dibelah. Barangkali itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan potret Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini. Betapa tidak, ketika publik mengapresiasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi, DPR justru melayangkan hak angket. Ada apa dengan DPR?
Tidak mengherankan jika banyak kalangan mencibir langkah politik DPR yang hendak menyelidiki KPK melalui penggunaan hak angket. Ratusan guru besar dari p uluhan pergururuan tinggi terkemuka di Indonesia melayangkan protes kepada DPR, dan sebaliknya mendukung langkah-langkah yang diambil KPK dalam menindak para pelaku tindak pidana suap dan korupsi. Gugatan atas langkah DPR dan dukungan terhadap KPK juga dilakukan para pengajar hukum tata negara, aktivis organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan alumni dari berbagai kampus, serta kalangan artis dan selebriti.Namun alih-alih surut langkah, para anggota Pansus Angket KPK secara demonstratif justru mengunjungi para narapidana kasus suap dan korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Tidak begitu jelas apa yang dicari para anggota Pansus Angket tersebut kecuali mungkin sekadar mencari dukungan moral dari mantan pejabat publik yang pernah menjadi "pasien" KPK. Kunjungan kontroversial Pansus Angket ini malah semakin menambah keyakinan publik akan niat tak baik partai-partai politik di DPR untuk memperlemah dan bahkan membunuh lembaga KPK.
Mengapa Angket Ditolak?
Paling kurang ada tiga faktor mengapa langkah DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki KPK. Pertama, langkah tujuh partai politik di DPR tersebut dianggap cacat politik atau melenceng dari koridor yang seharusnya, karena KPK bukan bagian dari pemerintah yang menjadi fokus fungsi kontrol Dewan. Pasal 3 UU No. 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengamanatkan bahwa KPK adalah "lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun".
Dengan kata lain, KPK bukanlah lembaga pemerintah yang bisa menjadi subjek penggunaan hak angket DPR. Sebagai pembentuk UU bersama-sama dengan Presiden, kalangan DPR semestinya memahami posisi konstitusional KPK, sehingga Dewan tidak perlu memaksakan untuk menggunakan hak angket terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Apabila DPR hendak mengevaluasi kinerja KPK terkait pelaksanaan tugas dan wewenangnya sesuai UU No . 30 Tahun 2002, maka Komisi III sebagai partner kerja lembaga penegak hukum bisa mengundang KPK dalam suatu rapat dengar pendapat seperti lazimnya. Mekanisme rapat kerja dapat menjadi forum bagi DPR untuk menggugat pelaksanaan tugas dan wewenang KPK jika dinilai menyimpang atau tidak sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, pengambilan keputusan tentang hak angket DPR terhadap KPK dapat dikatakan "cacat prosedur" karena diambil dalam rapat paripurna yang cenderung dipaksakan lantaran hujan interupsi tidak dilayani oleh pimpinan sidang. Wakil Ketua DPR Fakhri Hamzah yang memimpin sidang mengetok palu pada saat sebagian fraksi â€"Demokrat, PKB, dan Gerindraâ€" protes dan bahkan meninggalkan sidang (walk out). Protes sebagian fraksi atas prosedur persidangan yang cacat tersebut diabaikan oleh pimpinan DPR.
Ketiga, penggunaan hak angket tersebut dinilai cacat moral karena sebagian inisiator dan anggota panitia khusus angket terindikasi kasus su ap dan korupsi yang tengah ditangani KPK. Itu artinya, jika penggunaan hak angket dipaksakan, ada potensi konflik kepentingan sehingga akhirnya menjadi media "balas dendam" sebagian anggota DPR terhadap KPK ketimbang sebagai upaya penyelidikan yang benar-benar genuine dalam rangka memperkuat KPK. Dicurigai bahwa tujuan DPR yang memaksakan hak angket terhadap KPK pada akhirnya justru untuk melumpuhkan komisi independen antikorupsi tersebut.
Keempat, DPR sendiri memiliki beban legislasi yang luar biasa banyak pada masa persidangan 2017 ini. Tidak kurang dari 50 rancangan undang-undang (RUU) harus diselesaikan oleh DPR pada 2017 saja. Jumlah 50 RUU yang disepakati DPR dan pemerintah untuk diselesaikan tersebut belum termasuk RUU yang belum tuntas pada 2016 seperti RUU Pemilu. Ironisnya, hingga hari ini DPR hanya bisa menyelesaikan kurang dari 10 persen kewajiban legislasi yang harus dilakukannya. Mengapa DPR tidak fokus saja bekerja menyelesaikan kewajiban legis lasi, dan membiarkan KPK bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya?
Ironi Jokowi-JK
Di sisi lain, enam dari tujuh partai politik pengusung hak angket terhadap KPK adalah partai-partai politik koalisi pendukung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PAN. Hanya Partai Gerindra yang tidak termasuk sebagai partai koalisi pendukung pemerintah. Semula Gerindra menolak hak angket, tapi akhirnya mengirim wakilnya di dalam panitia khusus angket. Ini artinya, pemerintah Jokowi membiarkan partai-partai koalisi pendukung pemerintah "menggerogoti" komitmen pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum, termasuk pemberantasan korupsi.
Ini jelas suatu ironi. Betapa tidak, komitmen "penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya" merupakan salah satu dari sembilan program prioritas, atau Nawacita, yang dijanjikan oleh Jokowi-JK. Komitmen tersebut hanya bisa terwujud apabila ada k erja sama dan kemitraan yang baik di antara tiga pihak, yakni pemerintah, lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan, serta partai-partai politik di DPR.
Pemerintah Jokowi kurang aktif mengkonsolidasikan kekuasaan dalam rangka menggalang dukungan bagi komitmen penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Padahal, Jokowi bisa mengelola koalisi parpol pendukungnya untuk tujuan-tujuan mulia seperti itu tanpa harus mengambil posisi berlawanan dengan institusi DPR.
Barangkali di sinilah problematiknya. Di satu pihak, Jokowi-JK menggalang koalisi partai-partai untuk mendukung pemerintah dengan kompensasi kursi dalam Kabinet Kerja. Namun, di sisi lain membiarkan anggota koalisi menggembosi salah satu program prioritas pemerintah, yakni pemberantasan korupsi.
Karena itu, konflik kelembagaan antara DPR dan KPK ini semestinya tak harus terjadi dan tidak perlu berlarut-larut jika; pertama, pemerintah Jokowi-JK mampu mengkonsolidasikan koalisi parta i pendukung dalam rangka efektivitas kerja pemerintah, termasuk kebutuhan dukungan partai-partai terhadap setiap program prioritas pemerintah.
Kedua, Presiden Jokowi selaku Kepala Negara mengambil inisiatif untuk memediasi konflik kelembagaan tersebut tanpa harus kehilangan muka, baik bagi DPR maupun KPK. Mediasi oleh Presiden tentu harus bertolak dari aspirasi publik yang berkembang sejauh ini, yakni urgensi komitmen semua pihak dalam menegakkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Konflik DPR-KPK yang tidak produktif harus segera diakhiri. Saling percaya antarlembaga pemerintah perlu dibangun agar negeri kita bisa bersaing secara regional dan global. Terlampau besar risiko politik yang harus ditanggung bangsa ini jika DPR-KPK terperangkap konflik. Para koruptor berpesta pora, sementara mayoritas rakyat kita hanya bisa mengais mimpi dari gunungan sampah janji-janji politik para elite.
Syamsuddin Haris peneliti senior pada Pusat Penelitian Poli tik (P2P) LIPI
(mmu/mmu)Sumber: Google News DPR
Tidak ada komentar