Lolos Sensor Dengan VPN tirto.id - Di dunia maya hingga hari ini, terdapat lebih dari 1 miliar situsweb yang bisa diakses pengguna interne...
tirto.id - Di dunia maya hingga hari ini, terdapat lebih dari 1 miliar situsweb yang bisa diakses pengguna internet. Jumlah pengguna internet sendiri, per akhir Maret 2017, lebih dari 3,7 miliar. Dunia maya bukan hanya tempat bagi situsweb semata. Aplikasi ponsel pintar, juga mengambil tempat di dunia virtual tersebut. Data terbaru, ada lebih dari 3 juta aplikasi yang mendiami toko aplikasi Google Play bagi perangkat Android. Baik situsweb maupun aplikasi ponsel pintar yang ada, jelas menawarkan layanan berbeda-beda untuk dinikmati penggunanya.
Sayangnya, tidak semua situsweb dan aplikasi di dunia maya itu bisa digunakan layanannya karena adanya sensor. Di beberapa negara, sejumlah situsweb dan aplikasi penting bahkan tidak bisa diakses karena adanya pembatasan dari pemerintah.
Secara lebih luas, merujuk data yang dipublikasikan VPNMentor, Korea Utara didaulat sebagai negara dengan tingkat penyensoran ata u pemblokiran situsweb tertinggi di dunia. Selanjutnya, berturut-turut, Somalia, Iran, Cina, Eritrea, Suriah, Guinea Khatulistiwa, Uzbekistan, Vietnam, dan Arab Saudi masuk ke dalam 10 besar negara dengan tingkat pemblokiran tertinggi di seluruh dunia. Negara-negara yang masuk ke 10 besar sebagai negara yang melakukan sensor tertinggi tersebut, diberi rating 1 dari 10. Semakin kecil rating, semakin tinggi tingkat penyensoran.
Berbanding terbalik dengan negara-negara di atas, dari riset yang sama, Estonia, sebuah negara yang berbatasan langsung dengan laut Baltik, didaulat sebagai negara dengan tingkat penyensoran atau pemblokiran terkecil. Berturut-turut, negara-negara seperti Islandia, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Inggris Raya, Perancis, dan Portugal, masuk ke dalam 10 besar sebagai negara dengan tingkat penyensoran atau pemblokiran terkecil. Negara-negara tersebut, menerima rating 10 atas kenyataan bahwa di negara-negara tersebut, minim terjadi penyenso ran.
Dari kedua data yang saling bertolak belakang tersebut, negara-negara yang sering melakukan sensor atau blokir, sebagian besar berada di wilayah Asia. Sementara negara-negara dengan tingkat sensor atau blokir paling minim, sebagian besar berada di wilayah Eropa.
Indonesia ternyata tidak termasuk negara yang ekstrem dalam artian banyak memblokir atau terlalu bebas. Pemerintah Indonesia memberlakukan aturan pemblokiran melalui UU ITE. Yang terbaru, pemerintah memblokir 11 Domain Name Server (DNS) yang terkait dengan Telegram. Dengan pemblokiran tersebut, masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses domain-domain tersebut. Selain Telegram, setidaknya ada 2 layanan internet yang cukup besar yang tidak bisa dinikmati warganet Indonesia. Kedua layanan tersebut adalah Vimeo serta Reddit. Baik Vim eo maupun Reddit, keduanya diblokir di tahun 2014 lalu.
- Baca juga: Mereka yang Memanfaatkan Telegram Selain Teroris
Secara menyeluruh, hingga akhir 2015 kemarin, Pemerintah Indonesia melalui Kominfo telah memblokir 766.394 situsweb. Merujuk data VPNMentor, Indonesia diberi rating 3,4, tepat berada di bawah Singapura dengan rating 3,5.
Dalam urusan pemblokiran situsweb, ada cukup banyak alasan digunakan. Mulai dari suatu layanan internet mengandung konten pornografi, SARA, pembajakan, hingga berupa perlindungan pemerintah terhadap pemain-pemain lokal. Untuk alasan terakhir, Cina merupakan negara yang diketahui melakukan pemblokiran, salah satunya sebagai upaya melindungi layanan-layanan berbasis lokal yang mereka miliki. Di negara tirai bambu itu, hingga 2010, Cina telah memblokir 1,3 juta situsweb. Hampir segala layanan internet terkenal yang umum dikunjungi masyarakat internet dunia, memiliki versi Cina-nya di sana. Dari mulai Baidu yang merupakan kembaran Google, hingga Alibaba yang merupakan oposisi Amazon.
- Baca: Tembok Cina di Dunia Maya
Guna mengakali pemblokiran suatu situsweb atau aplikasi ponsel pintar, VPN alias Virtual Private Network, hadir sebagai penyelamat.
Secara sederhana, VPN merupakan suatu koneksi privat yang berjalan di atas koneksi publik yang disediakan oleh perusahaan provider internet. Secara teknis, VPN menempatkan server lain antara perangkat yang digunakan pengguna internet untuk terhubungan ke suatu layanan internet, dengan server tempat layanan internet bersemayam. Dengan demikian, secara sederhana, penggunaan VPN bisa âmenyembunyikanâ identitasnya atas apa yang ia lakukan dan kunjungi di internet.
Merujuk data yang dirilis Statista, pada tahun 2015, 27 persen pengguna internet dunia menggunakan VPN untuk bisa mengakses situs yang diblokir oleh pemerintah.
Dengan memanfaatkan VPN, pengguna internet bisa leluasa mengakses layanan-layanan berbasis in ternet yang diblokir oleh pemerintah.
Selain untuk meloloskan diri dari sensor pemerintah, VPN juga diketahui dimanfaatkan untuk lolos dari pemblokiran suatu situsweb atau layanan internet di tempat kerja. Diketahui, 26 persen pengguna internet dunia, memanfaatkan VPN untuk tujuan demikian. Memang, di beberapa perusahaan, mengakses Facebook, Twitter, atau Youtube, merupakan hal terlarang bagi seorang pekerja, terutama pada jam kerja.
Sejumlah 31 persen pengguna internet dunia juga memanfaatkan VPN untuk tujuan privasi. Diketahui, informasi pribadi pengguna internet, sangat sering dikumpulkan perusahaan internet guna kepentingannya sendiri. Menyembunyikan diri melalui VPN untuk privasi, jelas merupakan langkah baik untuk terhindar dari jebakan perusahaan-perusahaan demikian.
- Baca: Menjaring Informasi Pribadi demi Kepentingan Iklan
Lebih parahnya, aplikasi VPN mobile yang diteliti tersebut, 82 persennya meminta akses pada informasi pribadi pada perangkat milik si pengguna. Hal tersebut jelas merupakan kasus privasi yang cukup serius yang harus segera ditangani. Mengingat, secara umum, masyarakat menyangka bahwa VPN merupakan kata lain dari perlindungan privasi. Merujuk pada salah seorang peneliti, VPN-VPN yang mereka teliti, âdigunakan oleh sepuluh juta pengguna di seluruh dunia.â
Salah satu alasan mengapa banyak VPN yang tidak benar-benar memberikan aspek privasi bagi penggunanya adalah fakta bahwa VPN yang tersedia di pasaran, mengusung dua pendekatan b erbeda. Pertama, VPN berbayar. Kedua, VPN gratisan. Padahal, mengelola sebuah VPN jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Narseo Vallina-Rodriguez, peneliti dari International Computer Science Institute mengungkapkan, â(secara aspek) ekonomi (VPN gratis) tidak masuk akal, karena ketika kamu mulai melihat aplikasi ini, kebanyakan dari aplikasi tersebut tersedia secara gratis, tapi memelihara infrastruktur online sebenarnya sangat mahal.â
Tentu, mengakali agar bisa mengakses suatu layanan berbasis internet atau mencoba melindungi privasi dengan VPN bukanlah pilihan yang baik. Memperjuangkan kebebasan berinternet dengan melakukan edukasi pada pihak-pihak terkait, meskipun tentu saja harus melalui jalan berliku, merupakan suatu langkah yang jauh lebih baik.
Baca juga artikel terkait VPN atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin
(tirto.id - zae/nqm)
Keyword
vpn sensor sensor internet pemblokiran internet virtual private network inte rnet teknologi mild reportREKOMENDASI
-
Winnie The Pooh dan Larangan-Larangan Aneh Pemerintah Cina
-
Film India Sensor Kata 'Sapi' dan 'Hindu' Terkait Isu Agama
-
Cina Tingkatkan Sensor Konten Online
-
Upaya Facebook dan Google Melawa n Penyakit Lupa Password
KONTEN MENARIK LAINNYA
-
Komunikasi Teroris: Telegram Mati, Gim Online Pun Jadi
-
Mengenang Friendster dan Media Sosial Jadul yang Lain
BACA JUGA
-
Jangan Harap Bisa Pakai Aplikasi Paspor Online Tahun Ini
-
Mereka y ang Memanfaatkan Telegram Selain Teroris
Tidak ada komentar