Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Bisakah Bumi menampung 11,2 miliar orang di akhir abad ini?

Bisakah Bumi menampung 11,2 miliar orang di akhir abad ini? Hak atas foto AFP ...

Bisakah Bumi menampung 11,2 miliar orang di akhir abad ini?

MaléHak atas foto AFP
Image caption Malé, ibu kota Maladewa, adalah potret persoalan lahan saat ini

Ledakan penduduk, perubahan iklim, dan arus migrasi masal... Relasi manusia dan terra firma (daratan) selalu saja rumit. Pantaskah kita mengabaikan tata kelola lahan di Bumi, padahal kini nilainya semakin tinggi?

Dari udara, Malé seperti pulau yang mengambang di Samudera Hindia. Belantara beton yang berdiri di tengah-tengah perairan biru muda. Cuma satu-dua pohon yang menyembul di sela atapnya.

  • Maladewa kewalahan atasi sampah hotel
  • 10 tantangan besar yang akan kita hadapi pada 2050
  • Kota di Amerika Serikat yang terancam bencana genetika gara-gara poligami

Bagi warga yang bermukim di Malé, ibu kota Maladewa, lahan sudah tidak ada lagi. Sedangkan penduduk sudah terlampau banyak. Untuk membangun, pilihan satu-satunya adalah ke atas.

Kota ini dikelilingi laut, lahan yang tersisa sudah tidak ada lagi. Populasinya bertambah 52% sejak 2006. Menurut hasil sensus 2014, kepadatan penduduk mencapai 158 ribu pada kawasan seluas 5,7 kilometer persegi. Tapi pejabat lokal mengatakan angka sensus terbaru itu sudah tidak relevan lagi, sebab kini penduduk Malé sudah jauh lebih banyak lagi.

''Saat orang bicara tentang Maladewa mereka membayangkan tempat seperti surga. Indah, lautnya jernih seperti kristal, dan pantai pasir putih,'' kata Shamau Shareef, wakil walikota yang baru-baru ini terpilih. ''Gambaran tersebut jauh berbeda sekali dengan Malé. Lahan kami sudah sangat terbatas dan kehidupan di sini keras.''

Harga lahan mahal sekali di Malé. Lebar trotoar sudah kurang dari satu meter, sehingga untuk pejalan kaki mereka harus berbaris dalam satu jalur. Masih banyak jalanan yang bahkan tidak menyisakan sama sekali ruang untuk pejalan kaki.

Hak atas foto AFP
Image caption Ibu kota Maladewa, Malé adalah cermin problem lahan masyarakat modern. Kawasan urbannya terus berkembang sementara jumlah penduduk meroket. Lahan semakin sedikit, sehingga fasilitas kota seperti jalur pejalan kaki sempit sekali, kurang dari satu meter.

Nilai sewa properti naik menjadi-jadi. Di sejumlah permukiman miskin, 40 orang bisa berjejalan dalam bangun an yang luasnya hanya 23,2 meter persegi - ini setara dengan luas rumah susun tipe studio.

Lantaran terlalu banyak orang berbagi ruang dalam satu atap, angka kriminalitas, penyalahgunaan obat, dan kekerasan domestik sudah pada level berbahaya. Kota ini juga selalu kehabisan air. Dan, di lautnya muncul pulau-pulau baru yang tercipta dari tumpukan sampah warga.

''Di awal 1990-an, bangunan tertinggi di sini cuma dua lantai,'' kata Shareef. ''Sekarang rata-rata orang mendirikan bangunan delapan lantai, malah ada yang sampai 25 lantai. Banyak warga Maladewa yang pindah ke kota ini, sebab segala layanan kesehatan, pendidikan, termasuk mata pencaharian adanya di sini. Namun, dengan jumlah penduduk yang berlebihan, timbul banyak persoalan sosial dan ekonomi.''

Walau kondisinya sedemikian ekstrem, Malé adalah potret kecil dari problem pengelolaan lahan yang mengancam berbagai kota di dunia. Pertambahan penduduk dunia mencapai 83 juta jiwa per tahun. Ini penyebab tingginya tekanan terhadap lahan.

PBB memperkirakan, ada 7,6 miliar penduduk Bumi saat ini. Angkanya naik terus hingga 9,8 miliar di tahun 2050. Akhir abad ini, proyeksi mereka jumlah penduduk akan mencapai 11,2 miliar.

Pertambahan penduduk dunia mencapai 83 juta jiwa per tahun. Ini penyebab tingginya tekanan terhadap lahan.

Tiap manusia butuh ruang untuk hidup, bekerja, serta lahan yang subur untuk menanam sumber pangan. Manusia juga butuh air dan energi supaya tubuhnya tetap hangat, serta listrik untuk menerangi jalan di malam hari.

Kebutuhan lainnya yaitu jalanan dan ruang hijau untuk taman. Buat masyarakat yang lebih beruntung, mereka bisa menikmati ruang tambahan seperti tempat hiburan dan ruang untuk mengisi waktu luang.

Apabila penduduk sudah terlalu padat, pemenuhan kebutuhan tersebut jadi masalah. Tanpa ada penataan ruang, persoalan ruang hidup ini akan terus menumpuk dan semakin sulit dihadapi seabad ke depan.

Hak atas foto Lakruwan Wanniarachchi/AFP
Image caption Malé yang sudah terlalu padat menyebabkan persoalan lingkungan, yakni terbentuknya pulau buatan yang terbentuk dari sampah warga.

Layak huni dan tak layak huni

Problem ruang sering dipandang sebelah mata. Anggapan bahwa manusia akan kehabisan ruang di Bumi dianggap tidak masuk akal. Sebab, jika dihitung-hitung total penduduk dunia 11 miliar jiwa, seharusnya masih banyak sisa lahan di Bumi. Total daratan Bumi - tidak termasuk wilayah yang tertutup es - mencapai 13,4 miliar hektare.

Orang tidak memperhitungkan bahwa tidak semua wilayah daratan di planet ini bisa dihuni. Sebab, beberapa wilayah beriklim ekstrem dan a da juga yang tempatnya terlalu terpencil. Ambil contoh Siberia, lahannya luas sekali tapi iklimnya ganas. Wilayah Australia bagian tengah juga demikian, tanahnya terlalu tandus itu sebabnya penduduk Australia bermukim di wilayah dekat garis pantai.

Buat kota dan daerah urban seperti Malé, tempat berkembang sudah tidak ada lagi. Walaupun warga sudah sangat terikat dengan laut dan gunung di tempat itu, namun jumlah penduduk yang sudah terlalu padat dan pertumbuhan populasinya sekarang jadi alasan mengapa pertumbuhan Malé sudah mandek.

"Manusia sebanyak itu dalam satu daerah membuat tekanan terhadap sumber daya alam dan sumber pangan jadi tinggi,'' kata John Wilmoth, direktur dari Divisi Kependudukan PBB.

"Sayangnya buat sejumlah kalangan persoalan sebesar ini cukup ditangani dengan pengendalian populasi dan pembatasan penduduk semata.''

Buat para pakar, hanya fokus pada angka populasi dan sisa ruang di planet ini sesungguhnya pen dekatan yang keliru.

Hak atas foto Getty Images
Image caption Ada banyak daratan di Bumi yang tidak cocok untuk pertanian dan terlalu ekstrem untuk dihuni manusia.

''Di negara yang pertumbuhan penduduknya pesat, tingkat konsumsi sumber daya alam justru paling kecil per kapitanya,'' kata Jonathan Foley, direktur eksekutif di California Academy of Sciences yang sepanjang karirnya mendalami isu lingkungan dan peradaban manusia. ''Mereka yang kaya dan tinggal di negara maju, konsumsi sumber dayanya malah jauh di atas rata-rata.''

Total, wilayah yang saat ini dihuni manusia luasnya kurang dari tiga persen wilayah daratan Bumi. Tapi sebanyak 35% hingga 40% dar atan bumi adalah wilayah pertanian yang berfungsi sebagai sumber pangan. Di saat jumlah penduduk terus bertambah, maka yang dikhawatirkan adalah ketersediaan lahan pangan. Tata kelola lahan pertanian ini kaitannya dengan apa yang kita makan, bagaimana kita menanam tanaman pangan, dan bagaimana kita akan memproses sumber pangan tadi jadi makanan.

Lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia saat ini, menurut penelitian yang dilakukan di Stanford University, yakni antara 2,7 juta hektare dan 4,9 juta hektare. Sedangkan total wilayah yang cocok untuk tanaman pangan sebesar 445 juta hektare.

Para peneliti memperkirakan, dengan adanya kenaikan permintaan akan pangan, biofuel, industri kehutanan, dan sebaran urbanisasi, cadangan lahan yang ada tersebut akan terkena dampaknya. Lahan yang tersisa akan habis terpakai pada 2050.

Sebelum lahan pangan kita habis, apa langkah yang seharusnya dilakukan di abad ke-21 untuk mengelola lahan pangan kita dan menyesuaikan sisa lahan yang ada dengan kebutuhan pangan penduduk?

Beri ruang untuk pertanian

Soal lahan, kabar buruknya saat ini 80% penggundulan hutan terjadi akibat tingginya kebutuhan untuk memperluas lahan pangan dan tempat merumput bagi ternak. Penggundulan tersebut mengakibatkan kawasan kaya sumber daya alam dan hutan alami hilang, sehingga memicu meningkatnya gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Apa kabar baiknya? Menurut Foley, kondisinya masih mungkin berubah.

Hak atas foto Getty Images
Image caption Petak-petak lahan pertanian pangan sia-sia, sebab 40 persen pangan yang dihasilkan dunia dibuang. Ini sama saja menyia-nyiakan lahan dan sumber daya yang ada

'&# 039;Cara kita menggunakan lahan saat ini betul-betul tidak efisien,'' kata dia. ''Banyak sekali lahan yang justru dipakai hanya untuk menanam pakan ternak - 75% lahan pertanian hanya untuk memberi makan hewan. Bukan untuk makanan kita sendiri. Sekitar 40% pangan yang dihasilkan dunia juga tidak dikonsumsi - malah terbuang sia-sia. Ini berarti lahan-lahan yang terpakai untuk pertanian tadi percuma saja.''

Solusinya: sebaiknya kita mengurangi konsumsi daging dan tidak membuang-buang makanan.

Menurut Foley, sudah banyak kemajuan yang dilakukan. '' Di China sudah ada pembicaraan soal mengurangi konsumsi daging dan ada sejumlah upaya untuk mengurangi jumlah sampah yang berupa makanan di Eropa dan Amerika Serikat.'' Membatasi kebiasaan mengonsumsi makanan berlebih berarti lebih sedikit lahan yang diperlukan untuk pertanian.

Sekitar 40% pangan yang dihasilkan dunia juga tidak dikonsumsi - malah terbuang sia-sia.J onathan Foley, Direktur eksekutif California Academy of Sciences

Di negara-negara kaya, konsumsi berlebih masyarakatnya tidak cuma di sektor pangan saja.

Ruang bagi masyarakat kelas menengah

Dengan semakin membaiknya perekonomian masyarakat di sejumlah negara berkembang - termasuk China dan India - pertumbuhan masyarakat kelas menengah juga terpicu. Kelompok ini jumlahnya diperkirakan mencapai 4,9 miliar jiwa pada 2030.

Kalau setiap orang membeli kulkas, ponsel, televisi, komputer, dan mobil, maka ini berarti kebutuhan akan energi akan meningkat dua kali lipat dalam dua dekade mendatang.

Di tempat seperti Malé, yang wilayahnya sangat kecil dan populasinya membengkak, ini tantangan yang sangat sulit.

''Seharusnya semakin ke sini kita semakin terbebas dari kekhawatiran akan ketersediaan pangan, energi, dan dampak dari konsumsi,'' kata John Wilmoth dari PBB. ''Kalau standar hidup kita meningkat seiring denga n pertumbuhan penduduk, dampaknya akan berlipat-lipat terhadap Bumi dan lingkungan tempat kita hidup.''

Seberapa baik kita bisa memenuhi kebutuhan di tengah kondisi iklim yang berubah, penentunya adalah berapa banyak lahan yang masih tersedia. Dan, ini masalah buat sejumlah pesisir dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Kenaikan muka air laut berdampak pada pesisir

Menurut sejarah, perdagangan mampu mendongkrak jumlah kelas menengah dan kemakmuran masyarakat di wilayah pesisir. Itu sebabnya sebagian besar wilayah paling padat di planet ini berada di pesisir.

Sebuah penelitian di Kiel University Jerman dan Tyndall Centre for Climate Change Research di Inggris memperkirakan ada 625 juta orang yang bermukim di dataran rendah sekitar pantai pada 2000. Pada 2060, mereka memperkirakan jumlahnya akan melonjak lebih dari satu miliar.

Tapi situasinya berbeda saat ada perubahan iklim, dan semuanya jadi lebih kompleks.

''Lahan di pesis ir sangat terbatas dan ada banyak tekanan lingkungan dan ekosistem di sana,'' kata Barbara Neumann, pakar resiko pesisir dan kenaikan muka air laut di Kiel University yang memimpin penelitian tersebut.

''Gundukan pasir berfungsi seperti penghalang banjir alami. Kalau pasir terus-menerus dipindahkan maka pelindung pantai juga hilang dan kawasan ini semakin rentan terhadap kenaikan muka air laut.''

Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim akan menambah tekanan lingkungan terhadap kawasan pesisir yang padat tersebut, dia memperingatkan. Negara kepulauan seperti Maladewa yang paling rentan kehilangan daratan jika ini terjadi. Yang lainnya, Miami di Florida.

''Malé berada pada ketinggian dua meter di atas permukaan laut,'' Shareef menjelaskan. ''Setiap musim hujan gelombang lautnya besar sekali. Dengan adanya perubahan iklim, kondisinya bisa lebih ekstrem lagi.''

Jauh dari pesisir, di dara tan, penduduk terus bertambah banyak. Ke depannya mereka akan lebih rentan lagi dilanda bencana.

Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim akan menambah tekanan lingkungan terhadap kawasan pesisir yang padat

Di Bangladesh, yang 80% negaranya berada di wilayah rawan banjir, puluhan juta orang terdampak oleh banjir besar yang berulang setiap tahun. Itu sebabnya, lahan jadi barang berharga.

Bahkan di negara maju seperti Inggris, tekanan permukiman menyebabkan maraknya pembangunan skala besar di kawasan yang sesungguhnya tergolong wilayah rawan banjir. Beberapa dekade terakhir, banjir di kawasan tersebut menyebabkan kerusakan dengan angka kerugian mencapai miliaran poundsterling.

''Kita harus menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Caranya dengan memelihara sistem alam yang justru melindungi kehidupan kita,'' kata Neumann. Wilayah Belanda yang berada di bawah permukaan laut, sudah mencari solusinya le wat pembuatan area-area limpasan air. Pendekatan ini yang juga ditiru oleh sejumlah wilayah lain.

Namun, dengan pola cuaca yang tidak menentu, tidak cuma daratan kita saja yang terkena dampaknya. Wilayah yang bertetangga dengan kita juga ikut jadi korban.

Hak atas foto Getty Images
Image caption Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim menyebabkan banjir lebih sering terjadi di wilayah padat penduduk dan dekat pesisir seperti Miami, Florida. Kondisi ini lama-kelamaan menggerus garis pantai.

Perubahan iklim memicu migrasi

Ada sekitar 21,5 juta orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat bencana terkait cuaca tahun lalu.

''Kekeringan di wilayah utara Suriah menyebabkan migrasi masal dari pedesaan ke kawasan kota seperti Aleppo. Ini juga yang memicu konflik yang ada sekarang,'' kata Lloyd Axworthy, ketua World Refugee Council dan bekas Menteri Luar Negeri Kanada. Akibat perubahan iklim, kondisi seperti kekeringan, banjir, dan badai, frekuensinya makin sering dan tambah buruh, Axworthy memperingatkan.

Itu berarti negara lain harus mensubsidi sejumlah besar orang yang kehilangan sumber pencaharian ini. Yang mereka tahu hanya bertaniLord Axworthy, World Refugee Council

Menurut Badan Pengungsi PBB, 65,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik dan persekusi pada 2016. Jumlah ini 300 ribu lebih banyak ketimbang tahun sebelumnya dan yang tertinggi sejak Perang Dunia Kedua.

''Persoalannya bukan itu saja. Sejumlah kawasan yang cukup luas tidak lagi mampu menyediakan kebutuhan fundamental bagi kehidupan manusia. Ada banyak pemerintahan yang buruk dan tidak mau tahu soal ini. Itu berarti negara lain harus mensubsidi sejumlah besar orang yang kehilangan sumber pencaharian ini. Yang mereka tahu hanya bertani.''

Hak atas foto AFP
Image caption Migrasi masal pengungsi yang berusaha meninggalkan daerah dengan kondisi iklim sulit, penuh gejolak politik, dan terbatas sumber daya alamnya.

Ini berarti tantangan yang dihadapi untuk mencari tempat hidup lebih besar lagi, akibat perang, kelaparan, dan kekeringan. Dari pengungsi yang mencari suaka tahun lalu, sebanyak 22,5 juta ingin pindah negara. Menyediakan rumah bagi orang sebanyak itu sulit sekali - cuma 189.300 pengungsi yang menempati pengungsian di negara lain pada 2016. Sebagian besar menghuni barak atau memilih hidup dengan status tanpa negara. Mereka semua butuh makanan, air, dan tempat tinggal.

Mereka tidak punya lahan sendiri, padahal ini salah satu kebutuhan hidup manusia. Mereka terpaksa mengandalkan bantuan dari orang lain. Ada banyak faktor penyebab orang bermigrasi, misalnya perang, kelaparan, dan kekeringan. Kondisi semacam ini juga menyulitkan negara-negara seperti Yunani dan Uganda yang harus menghadapi aliran pengungsi dari Suriah dan Sudah Selatan. Padahal sumber daya alam mereka sendiri sangat terbatas.

'Persoalan yang tidak mengenal batas wilayah'

Kembali ke Malé. Kepadatan penduduk menciptakan persoalan yang lebih mendasar lagi, bukan sekadar konflik dan keterbatasan air.

Akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan membuat banyak warga di pedesaan pindah ke kota. Lebih dari separuh populasi dunia saat ini hidup di wilayah urban. Sama halnya dengan di Malé, hal tersebut menimbulkan tekanan yang tinggi terhadap wilayah y ang sempit.

Merancang sebuah kota perlu dilakukan dengan berhati-hati. Di saat orang di sejumlah kota di dunia bisa menikmati hidup nyaman dengan air bersih, sanitasi, dan pengelolaan sampah, di negara berkembang ada banyak sekali permukiman kumuh yang tidak dilengkapi infrastruktur.

Negara-negara di Afrika dan Asia secara cepat beralih menjadi kawasan urban. Bahkan yang tercepat dibandingkan tempat lain di dunia. Pada 2020, Afrika diperkirakan akan menjadi daratan paling urban. Sebanyak 560 juta penduduk mencari pekerjaan di kota, sedangkan di Asia akan ada sekitar 2,4 miliar orang yang hidup di kota. Namun menurut OECD, pembangunan infrastruktur di Afrika tidak bisa membalap pertumbuhan pesat tersebut. Akibatnya kota-kota di sana jadi kelewat padat.

''Tantangannya bukan soal tidak ada tempat lagi, tapi soal kita yang tidak memikirkan dimana orang-orang ini harus tinggal dan bagaimana kualitas hidup mereka,'' kata Joel Cohen, kepala Laboratory of Populations di Rockefeller University dan Columbia University. ''Pertumbuhan penduduk paling cepat terjadi di negara miskin yang kawasannya sudah kumuh. Diperkirakan akan ada miliaran orang tinggal di kawasan kumuh di akhir abad ini.''

Singkatnya, tiap tempat punya tantangannya masing-masing.

Di kawasan yang sempit seperti Malé, sumber daya alam sudah hampir diperas habis. Tapi dari sederet tantangan yang ada tersebut, masih ada pekerjaan rumah tambahannya yaitu melakukan pendekatan ramah lingkungan.

''Dua puluh tahun lalu masih ada banyak pohon di sini,'' kata Wakil Wali Kota Shareef. ''Sekarang hampir semua ditebang untuk memberi ruang bagi bangunan baru.''

Dan begitu seterusnya. Barangkali karena lahan perannya mendasar dalam hal eksistensi, itu mengundang sederet persoalan.

Di planet ini tentu masih ada tempat buat tempat tinggal kita. Tapi di abad ke-21, pertanyaan yang perlu kita tan yakan ke diri sendiri: dengan siapa dan apa kita mau berbagi tempat hidup?

--

Anda bisa membaca versi Bahasa Inggris dari artikel ini di BBC Future, berjudul How to best manage earths land?

Sumber: BBC

Reponsive Ads