Pemilu Serentak dan Presidential Threshold Pemilu Serentak dan Presidential Threshold Koran Sindo Sabtu, 11 November 2017 - 09:01 WIB A+...
Pemilu Serentak dan Presidential Threshold
Koran Sindo
A+ A- Fitra ArsilKetua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI
BERBEDA dengan sistem parÂlementer, pemilihan umum dalam sistem preÂsiÂdensial dilakukan dua kali (dual democratic legitimacy) seÂhingÂga dimungkinkan hasil keÂdua pemilihan umum tersebut tiÂdÂak kongruen. Partai yang meÂmeÂnangi pemilihan eksekutif (preÂsiden) bisa jadi tidak menÂdaÂpatkan dukungan kursi yang doÂminan di parlemen. Bahkan paÂrÂtai presiden merupakan miÂnoÂritas di parlemen.
Negara yang mengalami siÂtuaÂsi seperti ini dapat terjebak daÂlam skenario instabilitas sisÂtem presidensial. Skenario terÂseÂbut memang dimulai dari haÂsil pemilihan umum yang inÂkongÂÂruen sehingga presiden menÂjadi kekuatan minoritas di parÂlemen (minority president). DaÂl am situasi partai presiden mÂeÂrupakan minoritas di parÂleÂmen, kemudian presiden juga gaÂÂgal membangun koalisi mÂaÂyoÂriÂtas yang kohesif, potensi terÂciptanya pemerintahan terÂbeÂlah (divided government) menÂÂÂjadi tinggi.
Divided goÂvernÂment membuat eksekutif dan leÂÂgislatif saling mengintai dan mengÂÂhindar sehingga cenÂderung masing-masing bekerja tanÂpa kerja sama. Presiden akan menÂjalankan pemerintahan tanÂpa memedulikan pengÂawasÂan legislatif dan jika mengÂinginÂkan peraturan dilakukan deÂngan sepihak, presiden mengÂhinÂdari pembahasan di parÂleÂmen. Melihat fenomena AmeÂriÂka Latin, peraturan-peraturan yang digolongkan sebagai emerÂgenÂcy decree (perppu di InÂdoÂneÂsia) dalam kuantitas yang besar cenÂderung lahir dalam kondisi diÂvÂided government.
Presiden meÂmang cenderung mengÂguÂnaÂÂkan presidentÃs legislative poÂwer -nya dalam berhadapan deÂngan parlemen ketika kond isi diÂvided government. Situasi ini relatif miskin jaÂlan keluar karena dalam sistem preÂsidensial tidak ada satu lemÂbaÂga yang menjadi sumber leÂgiÂtiÂmasi bagi lembaga lain. KeÂkuaÂsaan eksekutif dan keÂkuaÂsaÂan legislatif sama-sama lahir daÂri pilihan rakyat sehingga sulit mengÂganggu legitimasi lemÂbaÂgÂa kekuasaan masing-masing terÂsebut. Artinya sulit untuk mengÂganti pemerintahan keÂcuaÂli menunggu waktu dÂaÂtangÂnya pemilu berikutnya.
Situasi di atas yang berlangsung berÂlarut-larut tentu menÂgÂakiÂbatÂkan pemerintahan tidak efektif dan pada gilirannya yang dirÂuÂgiÂkÂanÂnya adalah rakyat yang mÂeÂneÂrima kebijakan tidak berÂkuÂaÂliÂtas atau dengan kebijakan yang dibentuk dengan pengÂawasÂan minimal. Mencegah terjadinya situasi di atas, lahirlah berbagai mÂoÂdiÂfiÂkasi dan inovasi terhadap sistem-sistem ketatanegaraan yang menjadi fitur sistem preÂsiÂdenÂsial. Gagasan pemilihan umum serentak merupakan saÂla h satu bentuk inovasi terÂseÂbut. Melalui pemilihan umum seÂrentak, dua pemilihan umum yang terdapat dalam sistem preÂsiÂdensial diharapkan mengÂÂhaÂÂsilÂkan hasil yang kongÂÂruen.
PeÂneÂlitian yang diÂÂlaÂkuÂkan Mark P JoÂnes terÂhadap negara-negara di AmeÂrika LaÂtin meÂnunÂjukÂkan bahÂwa serentak atau tiÂdakÂnya wakÂtu pemilihan preÂsiden dan paÂrÂÂlemen akan berÂpengaruh paÂÂÂda huÂbungÂan legislatif dan ekÂÂseÂkutif (Jones: 1995). Jika peÂÂÂmiÂlihan dilakukan sÂeÂrenÂtak, preÂsiden akan memiliki keÂÂmungÂkinan lebih besar untuk menÂdapatkan dukungan leÂgisÂlaÂtif yang kuat. Jones menyatakan bahwa peÂÂmilihan serentak merupakan fakÂtor menonjol yang akan mengÂhasilkan ukuran ekÂseÂkuÂtif dan legislatif yang terpadu yang pada gilirannya akan mengÂhasilkan pemerintahan yang efektif.
Senada dengan Jones, Mark Payne menyatakan bahÂwa jika pemilihan eksekutif dan legislatif dilaksanakan berÂsaÂmaan, pemili h cenderung akan konsisten dalam memÂbeÂriÂkan suaranya. Pemilu seÂrenÂtak akan menghasilkan sedikit parÂtai yang akan mendapatkan suaÂra atau kursi signifikan di parÂlemen karena terjadi coattail effect di mana preferensi pÂeÂmiÂlih akan dipengaruhi oleh kanÂdiÂdat presiden. Pemilih cenÂdeÂrung akan memilih partai yang saÂma dengan partai kandidat preÂsiden yang mereka pilih. Payne menekankan terutama yang menjadi objek teÂrÂpeÂngaÂruh adalah pemilihan legislatif yang akan mengikuti keÂcenÂdeÂrungÂan pemilihan eksekutif.
Namun gagasan pemilihan seÂrentak tetap menyimpan poÂtenÂsi-potensi permasalahan yang jika tidak teratasi, tujuan unÂÂtuk menghambat skenario insÂÂtabilitas di sistem preÂsiÂdenÂsial terÂancam gagal dilakukan. Di anÂtaÂra permasalahan yang daÂpat diÂpÂÂeÂrkirakan adalah jika peÂlÂakÂsaÂnaÂÂan pemilu serentak diÂgaÂbungÂkan dengan sistem peÂmiÂlihÂÂan preÂsiden dua putaran (maÂjoÂrity run off). Pemilu seÂrenÂtak deÂÂngan pilÂpres dua putaran akan memÂbuat partai-partai poÂliÂtik maÂsuk ke pemilihan umum deÂngan meÂmiÂliki calon preÂsiden masing-masing (tidak berÂkoaÂliÂsi) karena mengÂanggap peÂmeÂnang pemiÂlihÂan presiden tiÂdak akan didapat di putaran perÂtaÂma.
Putaran pertama yang diÂlakÂÂsaÂnakan serentak diÂguÂnaÂkan oleh partai-partai unÂtuk menÂÂcaÂlonÂkan presiden agar menÂÂdaÂpatÂkan coattail effect, yaÂitu terÂangÂkatnya suara partai di peÂÂmiÂlu legislatif oleh calon preÂsiÂÂden yang diajukan di peÂmiÂlihÂan preÂsiÂden. Partai politik meÂmiÂÂliki caÂlon presiden sendiri agar dapat menÂdudukkan seÂbaÂnyak mungÂkin wakilnya di parlemen. Jika hal itu yang terjadi, keÂmungÂÂkinannya adalah terÂbenÂtuk parÂlemen yang terÂfragÂmenÂtaÂsi tingÂÂgÂi (multipartism), baÂnyak parÂtai yang mendudukkan waÂkilnya di parlemen, tidak ada keÂkuatan maÂyoritas dan memÂperÂbesar po tensi terjadinya miÂnoÂÂrity presiÂdentÂ. Jika terjadi miÂnoÂÂrity presiÂdent, potensi terjebak ke dalam skeÂnario instabilitas sisÂÂtem preÂsiÂdenÂsial seperti diÂgamÂÂbarkan di atas menjadi seÂmaÂÂkin besar.
FakÂta yang diÂsamÂpaiÂÂkan Gabriel NeÂgreÂtÂto berÂdaÂsarÂÂkan pengalaman di Amerika LaÂÂtin dalam rentang 1978-2002 meÂnyebutkan bahwa keÂmungÂkinan partai presiden meÂnikÂmaÂti dukungan mayoritas di parÂleÂmen cenderung turun seÂiring deÂngan meningkatnya parÂtai-parÂtai yang mendapat kurÂsi di parÂÂlemen. Fragmentasi tingÂgi parÂÂlemen juga menyeÂbabÂkan konÂÂsensus dalam proÂses pengÂamÂÂbilan putusan di parÂleÂmen akan menjadi lebih sulit. Para pengkaji fenomena peÂmeÂÂrintah di Amerika Latin mÂeÂmang menekankan bahwa staÂbiÂliÂÂtas sistem presidensial saÂngat terÂkait dengan kondisi fragÂmenÂtasi tinggi kepartaian. BahÂkan diÂnyatakan bahwa terÂdaÂpat bukÂtÂi kuat ke langsungan hiÂdup deÂmoÂkrasi di sistem preÂsiÂdensial diÂtentukan tingkat fragÂmentasi parÂtai politik di parlemen.
Dalam perspektif kohÂeÂsiÂviÂtas koalisi, menunda koalisi hingÂga di putaran kedua pemiÂlihÂan presiden berdampak buÂruk pada koalisi yang dibangun. Partai-partai politik yang meÂmuÂlai koalisinya di putaran kÂeÂdua pilpres tidak akan memÂbaÂngun koalisinya berbasiskan preÂferensi kebijakan, apalagi ideoÂlogi (policy blind coalition), kaÂrena tiap partai politik ketika itu sudah memiliki size masing-masing yang merupakan hasil pÂeÂmilu putaran pertama yang diÂselenggarakan serentak deÂngan pemilihan presiden. Jadi perÂtimbangan agenda keÂbiÂjakÂan bersama akan terpinggirkan kaÂrena terfokus pada perolehan parÂtai masing-masing di puÂtarÂan pertama.
Hambatan waktu juga menÂjaÂdi masalah untuk membentuk koaÂlisi berbasis kebijakan (poÂlicy based coalition). Rentang anÂtaÂra berakhirnya putaran peÂrÂtaÂma dan dimulainya putaran keÂdua merupakan waktu yang terÂlaÂlu singkat untuk secara serius memÂÂbÂentuk agenda kebijakan berÂsama yang menjadi dasar koaÂlisi. Bahkan agenda keÂbiÂjakÂan bersama yang mungkin suÂdah dibentuk oleh beberapa parÂtai yang sudah bergabung leÂbih dahulu dalam putaran perÂtaÂma menjadi tidak relevan deÂngan bergabungnya partai baru daÂlam putaran kedua yang seÂcaÂra ideologis atau posisi keÂbiÂjakÂan berbeda bahkan berÂtenÂtangÂan. Koalisi dengan basis agenda keÂbijakan bersama yang lemah diÂperkirakan akan rapuh dan muÂdah pecah (fragile), teÂrÂutaÂma ketika nanti mengelola peÂmeÂÂrintahan bersama-sama.
Gambaran yang diÂsamÂpaiÂkan di atas membuat suatu keÂsimÂpulan bahwa pemilihan seÂrenÂtak akan mendapatkan tuÂÂjÂÂuÂanÂnya jika dilakukan deÂngan jumÂlah calon presiden yang seÂdiÂkit. Sementara peÂmiÂÂlihÂan seÂrenÂÂtak yang peÂmeÂnang pilÂÂpresÂnya ditentukan paÂda puÂtarÂan keÂdua pem ilihan memÂÂbuat partai-parÂtai politik jusÂtru beÂÂramai-ramai meÂmiÂliki calon preÂÂsiden sendiri kaÂreÂna berÂhaÂrap coattail effect. DaÂÂlam konÂteks ini pengaturan amÂÂbang baÂtas partai poÂliÂtik/ gaÂÂbungan parÂtai politik untuk daÂÂpat menÂcÂÂaÂlonkan preÂsiÂden (presiÂdenÂtial thresÂhold) meÂneÂmuÂkan relevansinya.
Presidential thresÂhold meÂmang memiliki perÂmasalahan jika meÂliÂhat perolehan suara yang menjadi dasar perÂÂhiÂtungÂan adalah suara peÂmilu seÂbeÂlumÂnya sehingga tiÂdak relevan unÂtuk mengÂhiÂtung dukungan rakÂyÂat atau kurÂsi parlemen keÂpaÂda seÂorang calon presiden. NaÂmun jika memandangnya daÂri keÂbuÂtuhan akan pemilihan preÂsiÂden dengan calon terbatas, preÂsidÂential threshold meÂruÂpaÂkan jalÂan yang efektif dan terÂukur unÂtuk mengatasi masalah terÂseÂbut. Melalui presidential thresÂÂhold dipastikan calon preÂsiÂÂden akan terbatas jumÂlahÂnya.
DaÂlam kondisi calon preÂsiÂden terÂbatas, diharapkan kebÂaikan-kÂeÂbaikan dari pelÂakÂsaÂnaan peÂmiÂlu serentak dapat diÂnikmati. MengÂhindar dari anÂcaman terÂjeÂbaknya relasi ekÂsekutif dan leÂgisÂlatif dalam skeÂnario insÂtaÂbiÂliÂtas sistem presÂidensial mungÂkin lebih penÂtÂing dipilih dan seÂjauh ini foÂrÂmulasi yang dapat diÂteÂmuÂkan untuk membatasi caÂlon seÂcara efektif dan terukur adaÂlah presidential threshold. (thm) Follow Us : Follow @SINDOnewsSumber: Google News Pemilu
Tidak ada komentar